Selasa, 24 Maret 2020

Jika di Provinsi Bengkulu ada Rumah Bung Karno, Maka di kota Bukittinggi ada Rumah Bung Hatta.

Rumah Bung Hatta telah diperbarui. Gagasan pembangunan kembali (rekonstuksi) rumah ini bermula dari ketua yayasan Pendidikan Nusantara (sekarang bernama Yayasan Pendidikan Bung Hatta) yang mengelola universitas yang memakai nama besar Bung Hatta. Setelah sekian lama tertunda baru pada bulan September 1994, lahan rumah tersebut dapat dibebaskan oleh pemerintah daerah kota Bukittinggi.

Pada bulan November 1994 sampai dengan Januari 1995 dimulailah penelitian untuk mendapatkan bentuk rumah yang dibangun. Didasarkan kepada foto yang ada  dalam memoar Bung Hatta dan beberapa foto yang masih disimpan oleh keluarga, maka mulailah  menginterpretasikannya ke dalam gambar perencanaan.

Rumah Bung Hatta yang terbuat dari struktur kayu diperkirakan dibangun tahun 1860-an dan mengalami masa pasang surut secara fungsi dan fisik karena sudah tua dan runtuh pada tahun 1960-an. Sebelum dibeli oleh Haji Sabar, bangunan belakang rumah tersebut masih berfungsi dan dihuni oleh beberapa keluarga secara bergantian.


Pelaksanaan pembangunan baru dimulai pada tanggal 15 Januari 1995 dan diresmikan pada tanggal 12 Agustus 1995, yang bertepatan dengan hari kelahiran Bung Hatta dan peringatan 50 tahun Indonesia merdeka. Pembangunan rumah ini menghabiskan 266 meter persegi sasak dari batuang (bambu) yang didatangkan khusus dari Batusangkar, 525 meter persegi tadir pariang dari Payakumbuh, 75 meter kubik kayu banio tampuruang dari Muara Labuh, kayu Ruyuang, 1600 zak semen Indarung, 336 meter kubik pasir pasang, 138 meter kubik batu kali dari Padang Tarok, 25.000 batu bata bata dari Payakumbuh serta material pendukung lainnya.


Untuk kelengkapan rumah seperti kunci-kunci, grendel dan tiang kuno didapat dari berbagai pihak dan berbagai pihak dan masyarakat sekeliling, sehingga tampilan rumah ini mendekati aslinya. 

Saya berada di kota Bukittinggi selama kurang lebih satu bulan. Di sela-sela berkegiatan di kota sejuk ini saya menyempatkan diri berkunjung ke Museum Rumah Bung Hatta.


Oh iya, tulisan saya kali ini menyambung cerita tentang Bung Hatta. Lepas menyelesaikan studi di Belanda, Bung Hatta kembali ke Indonesia.

Pada tahun 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia asuhan Bung Hatta.

Baca Juga: Menjejaki Kehidupan Bung Hatta Melalui Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta (Bagian 2)

Masa Pembuangan
Dalam pembuangan, Bung Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honoriumnya cukup untuk biaya hidup di tanah pembuangan dan beliau dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Boven Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti.


Dengan demikian Bung Hatta mempunyai cukup bahan untuk mmeberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul di antaranya Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan dan Alam Pikiran Yunani.

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti Van Langn, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri.


Kembali ke Jawa
Pada tanggal 3 Februari 1942, Bung Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, pemerintahan Hindia Belanda menyerah kepada Jepang dan pada tanggal 22 Maret 1942 Bung Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta. Selama pendudukan Jepang, Bung Hatta diminta untuk bekerjasama  sebagai penasehat. Karena Jepang berjanji memerdekakan Indonesia. Namun, Bung Hatta mengetahui bahwa kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia merdeka bagi Jepang perlu bagi Bung Hatta sebagai senjata terhadap sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau?

Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944. Selama masa kependudukan Jepang, Bung Hatta tidak banyak bicara. Namun, pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (Sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggal 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Beliau mengatakan "Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Oleh karena itu beliau tak ingin Indonesia menjadi negeri jajahan kembali. Tua dan muda merasakan setajam-tajamnya. Kepada pemuda Indonesia beliau menekankan lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan dari pada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali".


Hari Kemerdekaan Indonesia
Tanggal 16 Agustus 1945, para pemuda menculik Soekarno-Hatta dan membawa mereka ke Rengasdengklok. Tujuaannya ialah untuk mengamankan kedua tokoh ini dari pengaruh luar agar bersedia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Setelah seharian di Rengasdengklok kedua tokoh ini akhirnya menyetujui tuntutan pemuda, pada pukul 23.00 mereka dibawa ke Jakarta, tepatnya ke rumah Laksamana Maed. Di sinilah naskah proklamasi disusun Bung Hatta dengan Mr. Achmad Soebarjo, ditulis oleh Soekarno dan diketik oleh Sayuti Melik. Setelah naskah proklamasi selesai disusun, timbul pertanyaan siapa baiknya yang menandatangani. Atas usul dari Soekarni diputuskan Soekarno-Hatta saja yang menandatangi proklamasi tersebut.


Bung Hatta Menjadi Wakil Presiden
Pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pengangsaan Timur 56 tepatnya pukul 10.00 kemerdekaan Indonesia diproklmasikan oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indoensia. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hatta sebagai Wakil Presiden dan pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan itu dikukuhkan oleh KNIP.

Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Sebelum proklamasi Belanda telah bersiap-siap untuk kembali ke Indonesia karena Belanda beranggapan bahwa Indonesia masih bagian dari kerajaan Belanda. Sebagai langkah awal tentara Belanda (NICA) membonceng bersama tenatara sekutu yang datang untuk menerima serah terima Negeri Jajahann dari Jepang. Tentara sekutu yang datang disambut dengan perlawanan oleh rakyat Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yokyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggar Jati dan Perjanjian Renville, namun selalu berakhir dengan kegagalan karena kecurangan yang dilakukan oleh pihak Belanda.


Pada Juli 1947, Bung Hatta pergi untuk mencari dukungan luar negeri. Beliau pergi ke India dan menemui Jahwaharlal Nehru dan Mahatma Gandi. Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan mengajukan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum. Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana. Bung Hatta juga menjadi perdana menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya, setelah negara RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta Kembali menjadi wakil presiden.

Bapak Koperasi Indonesia
Bung Hatta aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Ia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Pada tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besarnya aktivitas dalam koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 ia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikirannya mengenai koperasi antara lain dtuangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Pada akhir tahun 1956, Bung Hatta tidak sejalan lagi dengan Soekarno karena ia tidak ingin memasukan unsur komunis dalam kabinet waktu itu. Sebelum ia mundur, ia mendapat gelar Doctor Honouris Causa dari Universitas Gajah Mada Yokyakarta. Sebenarnya gelar tersebut ingin diberikan pada tahun 1951. Namun gelar tersebut baru diberikan pada 27 November 1956. Demikian pula Universitas Indonesia pada tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tapi Bung Hatta belum bersedia menerimanya. Dia berkata, "Nanti saja kalau saya telah berusia 60 tahun."


Mengundurkan Diri
kemudian pada 1 Desember 1956, Hatta memutuskan untuk berhenti sebagai waki presiden RI.

Bung Hatta beserta keluarganya lalu pindah ke Jalan Dipenegoro. Ketika memindahkan barang-barang ke rumah barunya, yang mula-mula diangkut beliau bukan perabot rumah tangganya melainkan buku-bukunya. Dari Jalan Merdeka Selatan 13, buku itu diikat jadi satu dalam tumpukan-tumpukan yang sesuai urutan semula dan sebagian bukunya dimasukan ke dalam peti-peti aluminium yang masih tersimpan.

Wafat
Bung Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 pukul 18.56 di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari dirawat. Selama hidupnya Bung Hatta disemayamkan di kediamannya Jalan Dipenegoro 57, Jakarta dan disemayamkan di tengah-tengah rakyat yang beliau perjuangkan kemerdekaannya. Pemakaman beliau dilangsungkan dengan upacara kenegaraan yang dipimpin secara langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu, Adam Malik. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Proklamator pada tahun 1986 oleh pemerintahan Soeharto dan gelar Pahlawan Nasional yang dituangkan dalam Keppres no. 84/TK/2012 di masa pemerintahan presiden SBY.

Sumber tulisan ini diambil dari buku saku yang saya dapatkan saat berkunjung ke tempat ini.  













Sabtu, 08 Februari 2020

Jika mendengar nama Sumatera Barat, maka yang lekat dalam ingatan kita pastinya rendang. Ya saya sangat suka makan rendang. Apalagi rendang nasi kapau di Pasar Ateh Bukittinggi. Lezatoss...

Namun, tidak hanya identik rendang, Sumatera Barat identik juga dengan Bapak Wakil Presiden RI yang pertama, yaitu Muhammad Hatta.
Bagian depan Museum Rumah Bung Hatta


Ya, tepatnya di kota Bukittinggi-lah bapak ekonomi Indonesia ini dilahirkan. Saya pernah membaca buku karangan Dr. Deliar Noer yang berjudul Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa. Sedikit banyak saya sudah mengetahui profil Bung Hatta dari buku tersebut. 

Tiba di Bukittinggi, saya langsung tertarik untuk mengunjungi museum Bung Hatta. Terlebih lagi, saat saya sedang berjalan kaki menuju Jam Gadang, di jalan, saya melihat patung Bung Hatta yang begitu besar. Di depannya terdapat tulisan Taman Monumen Bung Hatta Bukittinggi. Di depan Taman Monumen ini terdapat juga gedung yang bertuliskan Museum Bung Hatta. Wah, saya semakin tak sabar ingin melihat pernak-pernik yang berhubungan dengan Bung Hatta.
Ruang Tamu di Lantai Dasar 

Sepulang berbelanja di area wisata Jam Gadang, saya menyebrangi jalan dan menuju gedung  yang bertuliskan Museum Bung Hatta. Saya pikir, di sanalah saya dapat mengetahui kehidupan masa kanak-kanaknya. Oh ternyata tidak! Gedung megah itu adalah kantor. Info ini saya dapatkan dari security yang sedang berjaga di pintu gerbang. Security yang baik ini memberitahu saya bahwa  Museum Rumah Bung Hatta berada di Pasar Bawah. Bukan di sini nona! Oh, gitu ya. Baiklah...
Kamar Bung Hatta, Tampak Meja Belajarnya

Saya mencari alamat yang dimaksud melalui aplikasi ojek online di gawai saya. Hmm... letaknya teryata cukup dekat dengan lokasi dimana saya berdiri sekarang. Cukup mengeluarkan ongkos Rp9.000,00 menggunakan ojek motor dan 15.000 ojek mobil. Oh baiklah, saya memutuskan pulang ke hotel terlebih dahulu.  Sebab, saya menjadi sedikit bimbang. Langit sudah agak gelap. Pertanda hujan akan segera datang. Pulang dulu lah, sembari menimbang pergi hari ini atau esok saja.
Lemari Tempat Koleksi Buku Bung Hatta

Ternyata, saya memutuskan untuk pergi hari itu juga. Saya memesan ojek motor. Tak lama menunggu, Kang Ojek datang dan langsung mengantar saya ke Rumah Bung Hatta.

Kang Ojek menurunkan saya di depan Rumah. Saya berjalan masuk ke halaman rumah. Di depan pintu masuk sudah ada penjaganya. Seorang pria paruh baya dengan dialek khas tanah Minang. Saya mengisi buku tamu seraya bertanya berapa harga tiket masuk. Ternyata tiket masuk ke sini sukarela alias se-ikhlas-nya saja. Bapak penjaga menanyai dari mana saya berasal, profesi saya apa, dimana saya menginap, de el el. Setelah berbincang sekitar 10 menit, saya memutuskan untuk mengakhiri obrolan dan minta izin untuk masuk ke dalam. Dan, sebelum masuk saya diberi buku saku yang berisi perjalanan hidup Bung Hatta.

Kamar Tidur  Utama
Bapak penjaga yang baik ini mengantar saya ke dalam rumah. Melihat-lihat setiap sudutnya seraya memberikan penjelasan. Baru berjalan berapa menit, saya merasa lebih nyaman jika membaca sendiri setiap informasi yang tertulis di sana. Maka sang bapak meninggalkan saya. Sebelum beliau undur diri tak lupa saya minta izin untuk mengambil gambar. Beliau sangat mempersilahkan.
Kamar Tidur Paman Bung Hatta
Sepeninggalan sang bapak, saya merasa lebih leluasa untuk meng-explore dan mengambil gambar di setiap sudut. Mungkin, sang penjaga yang baik hati tadi membuat saya grogi... Hehehe
Meja Makan
Siang itu, jumlah pengunjung sepi. Di dalam rumah hanya ada saya dan dua orang pelajar SMP yang masih berseragam sekolah. Mungkin karena hari itu weekdays, jadi jumlah pengunjung tak seramai saat weekend.
Tungku, Tempat Masak
Rumah masa kecil Bung Hatta ini terdiri dari dua lantai yang bergaya khas minangkabau tentunya. Semua pernak-pernik di dalam masih terawat dengan baik. Di dinding terdapat papan informasi beserta foto-foto Bung Hatta dan keluarganya. 
Sumur yang Tidak Difungsikan Lagi
Di dalam rumah terdapat beberapa kamar yang ditempat sang kakek, paman, dan anggota keluarga lainnya. Saya dapat melihat kamar dimana Bung Hatta dilahirkan. Sedangkan untuk kamar Bung Hatta terdapat di bagian paling depan. Di kamar itulah Bung Hatta menghabiskan waktunya untuk membaca dan belajar.
Bagian Teras Belakang
Di sini, saya membayangkan Bung Hatta kecil berlarian dari dalam rumah hingga ke pekarangan.
Bagian Belakang Rumah
Kelahiran Muhammad Hatta
Muhammad Hatta memiliki nama kecil Muhammad Atthar. Ia lahir di Bukittinggi pada tangal 12 Agustus 1902. Dan ia wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Jakarta pada usia 77 tahun. Ayahnya bernama Muhammad Djamil sedangkan ibunya bernama Saleha.
Tempat Meletakan Bendi
Muhammad Hatta dibesarkan di lingkungan keluaga ibunya. Ayahnya meninggal ketika ia berusia 8 bulan. Kemudian ibunya menikah lagi dengan Haji Ning. Dari pernikahan tersebut, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Haji Ning snagat sayang padanya. Saat berusia 5 tahun, barulah Hatta tahu bahwa Haji Ning bukan ayah kandungnya. Muhammad Hatta merupakan anak laki-laki satu-satunya. 
Tangga untuk Ke Lantai Atas
Masa Kecil Bung Hatta
Sewaktu kecil ia mengaji dan memperdalam ilmu agama di surau Inyiak Syech Jamil Djambek di Kampung Tengah Sawah Bukittinggi. Mewarisi sifat orangtuanya, Muhammad Hatta taat beragama dan mencintai kebenaran. 
Kursi di Ruang Atas
Hatta kecil masuk sekolah dasar di Bukittinggi pada Europee lagere School. Sekolah ini merupakan tempat pendidikan bagi anak-anak Eropa dan Indo. Beliau diperbolehkan sekolah di sana karena kakeknya orang yang berpengaruh dan merupakan hartawan yang disegani. 

Masa Pendidikan Bung Hatta
Bung Hatta mulai mengenyam pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR). Namun ia berhenti dari sekolah tersebut dan pindah ke ELS (Europeesche Legere school) yang merupakan sekolah dasar pmasa kolonial Belanda di Indonesia. Ia sekolah di ELS sampai tahun 1913. Setelah lulus ia melanjutkan ke sekolah MULO (Meer Uitgebreid Larger Ondewijs) di Padang. MULO adalah sekolah tingkatan SMP pada masa kolonial Belanda. 
Halaman Belakang Tampak Dari Lantai Atas
Sejak bersekolah di MULO ia mulai tertarik pada pergerakan. Kemudian pada tahun 1916, muulah perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, dll. Bung Hatta masuk ke dalam perkumpulan Jong Sumateranen Bond dan menjadi Bendahara.  

Pada tahun 1921, Bung Hatta ke negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. 
Berfoto di Lantai Atas
Kehidupan Organisasi
Di Belanda Bung Hatta mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Suatu perkumpulan yang menolak kerjasama dengan Belanda ini kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). 

Bung Hatta memperpanjang rencana studinya sehingga ia terpilh menjadi ketua PI pada tahun 1926. Sejak tahun 1926 hingga tahun 1930 secara berturut-turut Bung Hatta menjadi ketua PI. Di bawah kepemimpinannya PI berubah dari organisasi biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik Indonesia. 
Perhatikan Waktu Kunjungan Ya

Pada tahun 1926, dengan tujuan untuk memperkenalkan nama Indonesia, Bung Hatta memimpin delegasi ke kongres Demokrasi Perdamaian di Prancis. 

Kembali ke Indonesia
Pada tahun 1932, Bung Hatta berhasil menyelesaikan studinya di negeri Belanda. Sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Pada bulan Februari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintahan Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia yang diasuh oleh Bung Hatta.  

Pintu Ruangan 
Lumayan lama saya menghabiskan waktu di Museum Rumah Bung Hatta ini. Ya, hujan turun sangat deras sehingga saya belum bisa kembali ke hotel. Sebelum keluar dari Museum tak lupa saya meminta bapak penjaga yang baik tadi untuk memotret saya. Maklum, saya datang seorang diri. agak kesulitan mendapatkan gambar  dengan  latar rumah yang utuh melalui selfi. Setelah selesai difoto, saya menuju kedai bakso di sampingnya. Saya memesan semangkuk bakso hangat seraya menunggu hujan reda.

Nah, sekian dulu ya untuk bagian 1 ini. Nantikan perjalanan hidup Bung Hatta di bagian 2 dan 3. Sampai jumpa :) 






Rabu, 22 Januari 2020


Hollaaaa...... Setelah sekian lama, akhirnya kembali nulis juga. Alhamdulillah ya Allah, ternyata aku  masih  punya semangat...

Tulisan perdana di awaal tahun ini tentang berwisata ke Lobang Jepang. Hmm... Ini juga pertama kalinya traveling bareng pasangan.

Perjalanan kali berbarengan dengan kegiatan pelatihan. Kebetulan saya dan suami melakukan pelatihan di tempat dan waktu yang sama. Nah, moment ini juga kami jadikan sebagai ajang untuk jalan-jalan alias melalar. Ya, maklumlah, sejak menikah kami belum pernah melakukan perjalanan bersama... hehe
Penampakan Lorong Lobang Jepang

Lobang Jepang terletak di pusat kota Bukittinggi. Selain jam Gadang, tentu saja tidak afdol rasanya ke Bukittinggi tanpa menginjakkan kaki di Lobang Jepang.

Saya menginap di hotel yang tak jauh dari lokasi wisata Lobang Jepang. Tetapi, hotel yang saya inapi lebih dekat lagi dengan lokasi wisata Jam Gadang. Dari kamar hotel, saya dapat melihat puncak jam Gadang dibalik rimbunan pepohonan. terlebih lagi jika malam tiba, sinar lampu dari Jam Gadang sampai ke kamar hotel lho! Beruntungnya saya menginap di hotel ini ya.

Pintu Masuk Taman Panorama
Sebelum Masuk Kita Membeli Karcis ya  

Oh iya, jarak antara tempat saya  menginap dan wisata Lobang Jepang dekat lho! Cukup berjalan kaki sekitar 10-15 menit saja, bergantung pada kecepatan kaki juga ya. Oh iya, jika tidak ingin berjaln kaki, kita bisa naik bendi  lho, cukup membayar Rp30.000 saja. Dengan uang 30k kita sudah bisa menikmati keindahan pemandangan sepanjang jalan menuju wisata Lobang Jepang dari atas kuda. Oh iya, bendi itu delman lho. Saya baru tahu orang Bukittinggi menyebutnya bendi. Selama ini saya tahunya ya delman... hehe

Lorong Lobang Jepang
Siang itu, lepas tengah hari saya dan suami bergerak menuju tempat wisata Lobang Jepang. Rencana berwisata ke sini memang sudah kami rencanakan jauh hari. Kami memilih berjalan kaki. Berjalan kaki di Bukittinggi snagatlah asyik. Udara perkotaan begitu sejuk. Kita tidak akan merasa gerah.

Waktu itu, kami belum tahu dimana lokasi wisata ini terletak. Konon katanya, Lobang Jepang tak jauh dari tempat kami menginap. Selain berbekal informasi tersebut, kami juga mengandalkan  google maps. Takut nyasar sih. Ya, ternyata lumayan berkeringat juga berjalan kaki ke Lobang Jepang. 

Taman Wisata Panorama Ngarai Sianok
Di Sinilah Wisata Lobang Jepang Berada
Wisata Lobang Jepang berada dalam lokasi wisata Taman Panorama. Untuk, masuk ke Taman Panorama kita membayar tiket seharga Rp15.000. Sedangkan untuk masuk ke wisata Lobang Jepang kita dikenakan tiket seharga Rp20.000. Jika ingin memakai jasa tour guide, kita cukup membayar Rp80.000 saja. Kita akan didampingi mengelilingi setiap sudut Lobang Jepang plus mendapatkan informasi lengkap seputar tempat keren ini.

Oh iya, jika ingin mencoba mengelilingi setiap sudut Lobang Jepang tanpa guide, tidak ada salahnya juga lho! Tidak perlu khawatir nyasar. Sebetulnya Lobang ini tidak terlalu luas kok. Lagi pula, wisatawan lain banyak di dalamnya. Kita dapat mengandalkan mereka untuk sekedar bertanya atau mengekor... hehe

Namun, waktu itu saya dan suami memakai jasa tour guide untuk memandu kami mengelilingi setiap lorong di Lobang Jepang.

Terowongan Lobang Jepang
Sebetulnya waktu itu saya ingin menjelajah setiap lorong Lobang Jepang tanpa guide. Saya ingin mendapatkan pengalaman yang berbeda. Lebih seru saja. Ya, meskipun telah menikah, jiwa petualang saya masih membara. Namun ide saya ditolak  suami. Dia ingin sekali menggunakan guide. Yooo, dari pada berdebat akhirnya saya ikut beliau.

Sambil ditmani guide yang masih muda, kami memasuki setiap lorong di dalam Lobang Jepang yang cukup gelap. Meskipun gelap, di dalam lobang terdapat lampu di beberapa titik untuk memudahkan pengunjung melihat-lihat setiap sudut di dalam lobang. Meskipun berbentuk lorong yang panjang, di dalam lobang ini udaranya sejuk lho!

Guide kami menjelaskan setiap detail lorong yang kami datangi. Dia juga menceritakan sejarah terbentuiknya Lobang Jepang pada zaman dahulu hingga Lobang Jepang masa kini yang telah menjadi tempat wisata.

Saya perhatikan, suami saya mendengarkan setiap penjelasan guide dengan penuh konsentrasi. Sesekali ia mengeluarkan pertanyaan. Sedangkan saya? Jangan tanya apa yang saya lakukan. Saya sibuk mengambil gambar. Saya pikir, untuk informasi seputar Lobang Jepang saya bisa bertanya dengan soulmate saya tersebut.... hehe
Sebelum Tiba di Lorong Lobang Jepang,
Kita Menuruni Tangga Dulu Ya
Lobang Jepang merupakan peninggalan Jepang pada masa menduduki Bukittinggi pada tahun 1942. Lobang Jepang bentuknya menyerupai terowongan. Terowongan ini dulunya merupakn tempat pertahanan tentara Jepang dalam menghadapi musuh.

Dari guide kami tahu bahwa terowongan ini dibuat oleh pekerja pribumi. Sambil bekerja secara paksa, mereka juga disiksa. Ya, bagi mereka yang tewas pada saat bekerja mayatnya langsung dibuag ke bawah melalui terowongan kecil. Duhh... ngerinya! Saya tidak dapat membayangkan betapa menyeramkan peristiwa itu.

Suami dan Guide sedang Mengintip Terowongan
Untuk Membuang Pekerja yang Telah Meninggal
Guide yang baik ini menjelaskan, ada beberapa hal yang masih menjadi misteri terkait terbentuk Lobang Jepang hingga saat ini. Yang pertama, untuk berapa jumlah pekerja yang membangun terowongan ini belum diketahui pasti jumlahnya. Kedua, sisah galian tanah dari terowongan ini dibuang kemana belum juga diketahui informasi pastinya.  

Di Dalam Ada Penjara Juga Lho!
Ternyata terowongan Lobang Jepang ini sudah mengalami pemugaran. Dulunya, terowongan ini adalah tanah berukuran kurang lebih satu meter. Namun oleh pemerintah Bukittinggi Lobang Jepang ini diperbesar dan disemen untuk kepentingan wisata. Bahkan, saya melihat  mushola di dalam terowongan. Tetapi, mushola itu tidak digunakan lagi. Pokoknya, tempat ini sudah disulap menjadi lokasi wisata sejarah yang sangat menarik. Keren ya!! 

Saat di dalam terowongan, saya sesekali mendengar suara kendaraan di jalanan. Yap, di bagian atas terowongan adalah jalan raya. Konon, kita dapat menuju Jam Gadang melalui terowongan Lobang Jepang ini lho! Namun, aksesnya sekarang sudah ditutup. Saya pun tidak menanyakan langsung pada guide yang menemani kami. Saya terlalu asyik mengambil foto... Hehehe

Tempat Mnegintai Musuh
Setelah puas mengelilingi setiap penjuru Lobang Jepang, kami memutuskan untuk keluar. Pintu keluar dan pintu masuknya beda lho! Pintu masuk berada di taman wisata Panorma, sedangkan pintu keluar berada di jalan menuju taman wisata Ngarai Sianok. Sebelum keluar, tak lupa kakak guide menginfokan kepada kami sebuah desa dari tokoh pendidikan Sumatera Barat yang legendaris, yaitu H. Agus Salim. Ya, semoga saya tidak salah mengingat info ini ya. Dari dalam terowongan kami dapat melihat desa tersebut. Sebuah desa yang berada di ketinggian. Untuk tiba di desa tersebut, kita harus menaiki tangga yang cukup banyak. Kami penasaran dan berminat untuk melihat desa tersebut. Walaupun kaki sudah sedikit kelelahan kami masih semangat. Sekalian berwisata ke Ngarai Sianok. Itu yang terlintas di benak kami.

Di Dalam Lobang Jepang
Setelah keluar dari gerbang belakang Loban Jepang, kami kebingungan menentukan jalan mana menuju desa yangingin kami tuju. Akhirnya, kami bertanya dengan bapak-bapak yang duduk-duduk di sekitar. Berbekal info dari sang bapak kami mulai menyusuri jalan menurun di hadapan kami.  Dalam perjalan ini, kami berapa kali bertemu dengan rombongan yang mulai pulang dari arah berlawanan. Setelah berjalan sekitar 10 menit, kami menemukan tempat yang kami cari. Tetapi, kami putar arah. Sudah letih rasanya. Hari pun sudah semakij petang.

Karena sudah letih kami duduk di ponddokan di tepi sawah sambil memandang sebuah penginapan khas Minangkabau di seberangnya. Saya membayangkan ingin menginap saja di sana... hehe
Kami Istirahat Di Sini Sebelum Kembali ke Hotel
Ya, angin, sepoi-sepoi di sekitar pondok yang kami singgahi cukup mengurangi rasa letih kami. Tetapi tidak mampu mengurangi kering kerongkongan kami. 

Usai dirasa energi pulih kembali, kami melanjutkan perjalanan, ya pulang ke hotel. Kami urungkan niat untuk melihat desa masa kecil H. Agus Salim. Tak sanggup rasanya menjajaki janjang alias tangga yang berjumlah ratusan itu... Hehe

*Mohon maaf ya kalau ada informasi yang kurang ^^