Selasa, 24 Maret 2020

Jika di Provinsi Bengkulu ada Rumah Bung Karno, Maka di kota Bukittinggi ada Rumah Bung Hatta.

Rumah Bung Hatta telah diperbarui. Gagasan pembangunan kembali (rekonstuksi) rumah ini bermula dari ketua yayasan Pendidikan Nusantara (sekarang bernama Yayasan Pendidikan Bung Hatta) yang mengelola universitas yang memakai nama besar Bung Hatta. Setelah sekian lama tertunda baru pada bulan September 1994, lahan rumah tersebut dapat dibebaskan oleh pemerintah daerah kota Bukittinggi.

Pada bulan November 1994 sampai dengan Januari 1995 dimulailah penelitian untuk mendapatkan bentuk rumah yang dibangun. Didasarkan kepada foto yang ada  dalam memoar Bung Hatta dan beberapa foto yang masih disimpan oleh keluarga, maka mulailah  menginterpretasikannya ke dalam gambar perencanaan.

Rumah Bung Hatta yang terbuat dari struktur kayu diperkirakan dibangun tahun 1860-an dan mengalami masa pasang surut secara fungsi dan fisik karena sudah tua dan runtuh pada tahun 1960-an. Sebelum dibeli oleh Haji Sabar, bangunan belakang rumah tersebut masih berfungsi dan dihuni oleh beberapa keluarga secara bergantian.


Pelaksanaan pembangunan baru dimulai pada tanggal 15 Januari 1995 dan diresmikan pada tanggal 12 Agustus 1995, yang bertepatan dengan hari kelahiran Bung Hatta dan peringatan 50 tahun Indonesia merdeka. Pembangunan rumah ini menghabiskan 266 meter persegi sasak dari batuang (bambu) yang didatangkan khusus dari Batusangkar, 525 meter persegi tadir pariang dari Payakumbuh, 75 meter kubik kayu banio tampuruang dari Muara Labuh, kayu Ruyuang, 1600 zak semen Indarung, 336 meter kubik pasir pasang, 138 meter kubik batu kali dari Padang Tarok, 25.000 batu bata bata dari Payakumbuh serta material pendukung lainnya.


Untuk kelengkapan rumah seperti kunci-kunci, grendel dan tiang kuno didapat dari berbagai pihak dan berbagai pihak dan masyarakat sekeliling, sehingga tampilan rumah ini mendekati aslinya. 

Saya berada di kota Bukittinggi selama kurang lebih satu bulan. Di sela-sela berkegiatan di kota sejuk ini saya menyempatkan diri berkunjung ke Museum Rumah Bung Hatta.


Oh iya, tulisan saya kali ini menyambung cerita tentang Bung Hatta. Lepas menyelesaikan studi di Belanda, Bung Hatta kembali ke Indonesia.

Pada tahun 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia asuhan Bung Hatta.

Baca Juga: Menjejaki Kehidupan Bung Hatta Melalui Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta (Bagian 2)

Masa Pembuangan
Dalam pembuangan, Bung Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honoriumnya cukup untuk biaya hidup di tanah pembuangan dan beliau dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Boven Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti.


Dengan demikian Bung Hatta mempunyai cukup bahan untuk mmeberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul di antaranya Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan dan Alam Pikiran Yunani.

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti Van Langn, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri.


Kembali ke Jawa
Pada tanggal 3 Februari 1942, Bung Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, pemerintahan Hindia Belanda menyerah kepada Jepang dan pada tanggal 22 Maret 1942 Bung Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta. Selama pendudukan Jepang, Bung Hatta diminta untuk bekerjasama  sebagai penasehat. Karena Jepang berjanji memerdekakan Indonesia. Namun, Bung Hatta mengetahui bahwa kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia merdeka bagi Jepang perlu bagi Bung Hatta sebagai senjata terhadap sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau?

Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944. Selama masa kependudukan Jepang, Bung Hatta tidak banyak bicara. Namun, pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (Sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggal 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Beliau mengatakan "Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Oleh karena itu beliau tak ingin Indonesia menjadi negeri jajahan kembali. Tua dan muda merasakan setajam-tajamnya. Kepada pemuda Indonesia beliau menekankan lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan dari pada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali".


Hari Kemerdekaan Indonesia
Tanggal 16 Agustus 1945, para pemuda menculik Soekarno-Hatta dan membawa mereka ke Rengasdengklok. Tujuaannya ialah untuk mengamankan kedua tokoh ini dari pengaruh luar agar bersedia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Setelah seharian di Rengasdengklok kedua tokoh ini akhirnya menyetujui tuntutan pemuda, pada pukul 23.00 mereka dibawa ke Jakarta, tepatnya ke rumah Laksamana Maed. Di sinilah naskah proklamasi disusun Bung Hatta dengan Mr. Achmad Soebarjo, ditulis oleh Soekarno dan diketik oleh Sayuti Melik. Setelah naskah proklamasi selesai disusun, timbul pertanyaan siapa baiknya yang menandatangani. Atas usul dari Soekarni diputuskan Soekarno-Hatta saja yang menandatangi proklamasi tersebut.


Bung Hatta Menjadi Wakil Presiden
Pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pengangsaan Timur 56 tepatnya pukul 10.00 kemerdekaan Indonesia diproklmasikan oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indoensia. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hatta sebagai Wakil Presiden dan pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan itu dikukuhkan oleh KNIP.

Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Sebelum proklamasi Belanda telah bersiap-siap untuk kembali ke Indonesia karena Belanda beranggapan bahwa Indonesia masih bagian dari kerajaan Belanda. Sebagai langkah awal tentara Belanda (NICA) membonceng bersama tenatara sekutu yang datang untuk menerima serah terima Negeri Jajahann dari Jepang. Tentara sekutu yang datang disambut dengan perlawanan oleh rakyat Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yokyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggar Jati dan Perjanjian Renville, namun selalu berakhir dengan kegagalan karena kecurangan yang dilakukan oleh pihak Belanda.


Pada Juli 1947, Bung Hatta pergi untuk mencari dukungan luar negeri. Beliau pergi ke India dan menemui Jahwaharlal Nehru dan Mahatma Gandi. Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan mengajukan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum. Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana. Bung Hatta juga menjadi perdana menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya, setelah negara RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta Kembali menjadi wakil presiden.

Bapak Koperasi Indonesia
Bung Hatta aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Ia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Pada tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besarnya aktivitas dalam koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 ia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikirannya mengenai koperasi antara lain dtuangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Pada akhir tahun 1956, Bung Hatta tidak sejalan lagi dengan Soekarno karena ia tidak ingin memasukan unsur komunis dalam kabinet waktu itu. Sebelum ia mundur, ia mendapat gelar Doctor Honouris Causa dari Universitas Gajah Mada Yokyakarta. Sebenarnya gelar tersebut ingin diberikan pada tahun 1951. Namun gelar tersebut baru diberikan pada 27 November 1956. Demikian pula Universitas Indonesia pada tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tapi Bung Hatta belum bersedia menerimanya. Dia berkata, "Nanti saja kalau saya telah berusia 60 tahun."


Mengundurkan Diri
kemudian pada 1 Desember 1956, Hatta memutuskan untuk berhenti sebagai waki presiden RI.

Bung Hatta beserta keluarganya lalu pindah ke Jalan Dipenegoro. Ketika memindahkan barang-barang ke rumah barunya, yang mula-mula diangkut beliau bukan perabot rumah tangganya melainkan buku-bukunya. Dari Jalan Merdeka Selatan 13, buku itu diikat jadi satu dalam tumpukan-tumpukan yang sesuai urutan semula dan sebagian bukunya dimasukan ke dalam peti-peti aluminium yang masih tersimpan.

Wafat
Bung Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 pukul 18.56 di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari dirawat. Selama hidupnya Bung Hatta disemayamkan di kediamannya Jalan Dipenegoro 57, Jakarta dan disemayamkan di tengah-tengah rakyat yang beliau perjuangkan kemerdekaannya. Pemakaman beliau dilangsungkan dengan upacara kenegaraan yang dipimpin secara langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu, Adam Malik. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Proklamator pada tahun 1986 oleh pemerintahan Soeharto dan gelar Pahlawan Nasional yang dituangkan dalam Keppres no. 84/TK/2012 di masa pemerintahan presiden SBY.

Sumber tulisan ini diambil dari buku saku yang saya dapatkan saat berkunjung ke tempat ini.